Bandung, - Dimas Bagus Wijanarko (42), penggagas kampanye Get Plastik (Gerakan Tarik Plastik) asal Jakarta yang tengah menuju Bali, singgah di Kota Bandung. Ia tengah melakukan perjalanan sejauh 1.200 km dengan bahan bakar dari plastik
Hal ini dimanfaatkan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung untuk menggelar workshop bagaimana ia mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar, Workshop tersebut dilaksanakan di halaman kantor DLHK Kota Bandung, Jalan Sadang Tengah No. 4-6 Coblong. Senin (21/5/2018).
Tak membutuhkan waktu lama, Dimas bersama komunitas Get Plastik lantas mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan. Peralatan yang dibawanya terbilang sederhana, hanya serangkaian pipa yang terhubung dengan tabung vakum bertekanan tinggi. Tabung tersebut tersambung dengan gas elpiji yang akan berfungsi sebagai pemanas.
Tak lama, ia memasukkan segumpal sampah plastik yang telah disiapkan ke dalam tabung vakum. Tabung itu dipanaskan hingga mencapai 400 derajat Celcius. Lima menit kemudian, tetesan-tetesan minyak murni keluar dari pipa setelah melewati jalur 'pendinginan'.
Dimas menggunakan teknik bernama distilasi bertingkat itu untuk mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar. Metode yang digunakan adalah pirolisis, yakni proses dekomposisi termokimia bahan organik melalui pemanasan tanpa menggunakan oksigen, atau dengan kadar oksigen sesedikit mungkin.
Metode ini hanya menghasilkan residu berupa black carbon atau arang yang dapat dengan mudah terurai secara organik, serta gas propylene yang tidak berbahaya. Dimas memerlukan riset selama 4 tahun untuk menggunakan metode ini,
"Saya bukan akademisi, bukan teknisi, saya berbekal ilmu-ilmu yang saya baca dari artikel saja," tutur Dimas.
Ia mengaku bukan pencipta alat ini. Metode pengubahan bahan plastik menjadi bahan bakar ini sudah ada sejak bertahun-tahun lalu.
"Saya hanya merakit kembali dan menggunakannya untuk mengampanyekan pengurangan sampah plastik," akunya.
Gagasan itu tumbuh berawal dari fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok. Dalam satu tahun, ada 180 juta ton sampah plastik yang dibuang ke laut. Hal itu membuatnya resah.
"2014 saya mulai riset dan mengabdikan diri saya total untuk hal ini sampai detik ini," tuturnya.
Ia mengatakan, ada banyak cara untuk mengolah sampah plastik. Namun menurutnya, metode ini cukup efektif untuk menghilangkan sampah yang paling sulit terurai itu.
"Plastik yang dibuat di Indonesia itu 80-85%-nya adalah minyak. Sisanya itu black carbon atau microplastik. Makanya proses penguraiannya lama karena sebagian besarnya minyak. Sementara itu fossil itu butuh waktu ratusan tahun untuk jadi minyak lagi," paparnya.
Dengan mengubahnya menjadi bahan bakar, ia beranggapan bahwa sampah ini akan bernilai ekonomi jika dilakukan penelitian lebih serius. Namun bagi Dimas, yang terpenting saat ini adalah mengurangi sampah itu agar tidak terus menumpuk.
"Kalau dibakar justru lebih berbahaya. Residunya jadi karbonmonoksida yang berbahaya, masuknya ke sampah B3," katanya.
Minyak yang dihasilkan dari hasil distilasi ini bisa berupa solar, premium, maupun minyak tanah. Kendati begitu, nilai oktan yang terdapat pada hasil distilasi ini belum sama dengan standar yang diberlakukan oleh Pertamina.
"Ini nilai oktannya hanya 82, di bawah premium. Tapi bilangan oktan tidak mempengaruhi kinerja karena mesin yang saya pake 2 tak," tuturnya.
Usai mempraktekkan metode distilasi di Bandung, Dimas langsung bertolak ke Rajagaluh, Majalengka. Melewati 15 titik pemberhentian, Dimas dijadwalkan akan tiba di Bali pada tanggal 30 Juni 2018.
Sementara itu, Sekretaris DLHK Kota Bandung, Dedi Dharmawan mengapresiasi karya Dimas itu. Menurutnya, jika alat ini digunakan di tiap RW, ia percaya sampah plastik akan habis di tempat.
"Katakanlah itu digunakan di RW, nanti minyaknya bisa digunakan untuk bahan bakar triseda, atau digunakan untuk keperluan lainnya. Jadi sampahnya sudah berhenti di sumber," ungkap Dedi.
Ia melihat bahwa persoalan sampah plastik di Kota Bandung pun sudah sangat serius. Sebanyak 40% sampah Kota Bandung adalah sampah anorganik yang sebagian besarnya adalah plastik.
"Kalau untuk diproses oleh DLHK kan akan panjang jalurnya. Tapi kalau ini diterapkan oleh kewilayahan oleh RW-RW saja, ini akan sangat bermanfaat," ucapnya.
Hal ini dimanfaatkan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung untuk menggelar workshop bagaimana ia mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar, Workshop tersebut dilaksanakan di halaman kantor DLHK Kota Bandung, Jalan Sadang Tengah No. 4-6 Coblong. Senin (21/5/2018).
Tak membutuhkan waktu lama, Dimas bersama komunitas Get Plastik lantas mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan. Peralatan yang dibawanya terbilang sederhana, hanya serangkaian pipa yang terhubung dengan tabung vakum bertekanan tinggi. Tabung tersebut tersambung dengan gas elpiji yang akan berfungsi sebagai pemanas.
Tak lama, ia memasukkan segumpal sampah plastik yang telah disiapkan ke dalam tabung vakum. Tabung itu dipanaskan hingga mencapai 400 derajat Celcius. Lima menit kemudian, tetesan-tetesan minyak murni keluar dari pipa setelah melewati jalur 'pendinginan'.
Dimas menggunakan teknik bernama distilasi bertingkat itu untuk mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar. Metode yang digunakan adalah pirolisis, yakni proses dekomposisi termokimia bahan organik melalui pemanasan tanpa menggunakan oksigen, atau dengan kadar oksigen sesedikit mungkin.
Metode ini hanya menghasilkan residu berupa black carbon atau arang yang dapat dengan mudah terurai secara organik, serta gas propylene yang tidak berbahaya. Dimas memerlukan riset selama 4 tahun untuk menggunakan metode ini,
"Saya bukan akademisi, bukan teknisi, saya berbekal ilmu-ilmu yang saya baca dari artikel saja," tutur Dimas.
Ia mengaku bukan pencipta alat ini. Metode pengubahan bahan plastik menjadi bahan bakar ini sudah ada sejak bertahun-tahun lalu.
"Saya hanya merakit kembali dan menggunakannya untuk mengampanyekan pengurangan sampah plastik," akunya.
Gagasan itu tumbuh berawal dari fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok. Dalam satu tahun, ada 180 juta ton sampah plastik yang dibuang ke laut. Hal itu membuatnya resah.
"2014 saya mulai riset dan mengabdikan diri saya total untuk hal ini sampai detik ini," tuturnya.
Ia mengatakan, ada banyak cara untuk mengolah sampah plastik. Namun menurutnya, metode ini cukup efektif untuk menghilangkan sampah yang paling sulit terurai itu.
"Plastik yang dibuat di Indonesia itu 80-85%-nya adalah minyak. Sisanya itu black carbon atau microplastik. Makanya proses penguraiannya lama karena sebagian besarnya minyak. Sementara itu fossil itu butuh waktu ratusan tahun untuk jadi minyak lagi," paparnya.
Dengan mengubahnya menjadi bahan bakar, ia beranggapan bahwa sampah ini akan bernilai ekonomi jika dilakukan penelitian lebih serius. Namun bagi Dimas, yang terpenting saat ini adalah mengurangi sampah itu agar tidak terus menumpuk.
"Kalau dibakar justru lebih berbahaya. Residunya jadi karbonmonoksida yang berbahaya, masuknya ke sampah B3," katanya.
Minyak yang dihasilkan dari hasil distilasi ini bisa berupa solar, premium, maupun minyak tanah. Kendati begitu, nilai oktan yang terdapat pada hasil distilasi ini belum sama dengan standar yang diberlakukan oleh Pertamina.
"Ini nilai oktannya hanya 82, di bawah premium. Tapi bilangan oktan tidak mempengaruhi kinerja karena mesin yang saya pake 2 tak," tuturnya.
Usai mempraktekkan metode distilasi di Bandung, Dimas langsung bertolak ke Rajagaluh, Majalengka. Melewati 15 titik pemberhentian, Dimas dijadwalkan akan tiba di Bali pada tanggal 30 Juni 2018.
Sementara itu, Sekretaris DLHK Kota Bandung, Dedi Dharmawan mengapresiasi karya Dimas itu. Menurutnya, jika alat ini digunakan di tiap RW, ia percaya sampah plastik akan habis di tempat.
"Katakanlah itu digunakan di RW, nanti minyaknya bisa digunakan untuk bahan bakar triseda, atau digunakan untuk keperluan lainnya. Jadi sampahnya sudah berhenti di sumber," ungkap Dedi.
Ia melihat bahwa persoalan sampah plastik di Kota Bandung pun sudah sangat serius. Sebanyak 40% sampah Kota Bandung adalah sampah anorganik yang sebagian besarnya adalah plastik.
"Kalau untuk diproses oleh DLHK kan akan panjang jalurnya. Tapi kalau ini diterapkan oleh kewilayahan oleh RW-RW saja, ini akan sangat bermanfaat," ucapnya.