JAKARTA - Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddik,
menyatakan bahwa saat ini Indonesia dalam darurat bahaya fenomena
lesbian, gay, biseks dan transgender (LGBT) sehingga membutuhkan
perhatian serius dari semua pihak.
"Munculnya kasus-kasus hukum berkaitan dengan pelaku dan perilaku LGBT makin menyentakkan kesadaran masyarakat luas akan ancaman dan bahaya LGBT," katanya kepada pers di Jakarta, Sabtu.
Misalnya, menurut dia, kasus paling aktual artis SJ dan presenter IB yang diduga melakukan pelecehan seksual sesama jenis.
"Jika kita mencermati indikator-indikator yang melingkupi fenomena ini, maka saya berpendapat bahwa Indonesia mulai memasuki tahap darurat bahaya LGBT," katanya.
Mengenai apa indikator darurat dari fenomena tersebut, dia menyebutkan, ada beberapa hal. Pertama, LGBT justru menyeruak pelaku, perilaku dan penyebarannya di kalangan figur publik, khususnya artis.
Ia menilai, tidak dapat dipungkiri bahwa figur publik seringkali menjadi model peran (role model) bagi peniruan perilaku di kalangan penggemarnya.
Kedua, dikatakannya, pelaku dan perilaku LGBT di kalangan figur publik secara langsung atau tidak langsung disebarluaskan secara massif oleh lembaga penyiaran, khususnya televisi.
Sebagai bukti, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selama bulan Februari 2016 saja sudah mengeluarkan sekitar enam sanksi teguran terhadap program-program televisi yang mempromosikan pelaku dan perilaku LGBT.
"Bayangkan jika setiap hari ada beberapa televisi menampilkan pelaku dan perilaku LGBT dalam programnya, maka berapa juta warga masyarakat Indonesia yang terterpa pesan langsung dan tidak langsung tentang LGBT?," katanya
Ketiga, ia mengemukakan, pelaku LGBT juga membangun kesadaran kelompok dan melakukan upaya bersama untuk memperjuangkan pembenaran, eksistensi sampai pengakuan hak-hak hukum atas diaorientasi perilaku seksualnya.
Selain, menurut dia, tentu saja mereka secara sadar juga melakukan berbagai upaya untuk menambah jumlah pelaku dan menyebarluaskan perilaku LGBT.
"Penularan yang terlihat cepat di kalangan figur publik khususnya artis, bisa jadi contoh paling gamblang," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Keempat, ia menyatakan, bersamaan dengan indikator ketiga juga muncul pembelaan dan advokasi dari berbagai kalangan baik perorangan maupun kelembagaan.
"Ada akademisi yang nyaring bersuara membela LGBT. Ada LSM yang giat melakukan advokasi," katanya.
Ada perusahaan-perusahaan multinasional yang ikut mempromosikan LGBT. Bahkan, ia menilai, mungkin juga ada lembaga-lembaga donor dari luar negeri yang ikut membiayai kampanye pengakuan hak bagi pelaku dan perilaku LGBT.
Kelima, menurut dia, kampanye viral melalui media sosial saat ini dimanfaatkan secara maksimal oleh pelaku dan pendukung LGBT untuk menyebarluaskan paham, menggalang dukungan dan juga menjaring pengikut baru di tengah tidak ada regulasi yang secara efektif mampu mengawasinya.
"Apalagi, ada indikasi penyedia program media sosial yang umumnya dari luar negeri juga sepertinya permisif terhadap LGBT," katanya.
Keenam, ia menyatakan, sistem hukum Indonesia, termasuk peraturan perundang-undangannya, belum secara tegas dan jelas mengatur tentang pelaku dan perilaku LGBT ini. Rusia, Singapura dan Filipina, misalnya, sudah punya perundang-undangan yang jelas dan tegas tentang pelarangan LGBT.
Mahfudz mencatat, hal ketujuh adalah kalangan kedokteran, psikolog dan psikiater sudah secara jelas menyatakan bahwa LGBT adalah bentuk penyimpangan orientasi dan perilaku seksual yang berifat menular.
Bahkan, ia menambahkan, penularan LGBT bisa menyergap siapa saja, tidak peduli usia dan latarbelakang mereka, sehingga kalangan agamawan dari semua agama pun sudah jelas mengharamkannya.
Hal kedelapan, dikatakannya, sampai hari ini pemerintah belum ada kebijakan dan sikap yang jelas dan tegas tentang LGBT dalam konteks bahaya dan ancaman terhadap masa depan bangsa, dan hal kesembilan memperlihatkan kampanyenya di Indonesia mengacu kesuksesan kaum LGBT di beberapa negara Eropa yang mendapatkan hak pengakuan hukum.
"Ini akan menjadi agenda perjuangan sistemik kaum LGBT di Indonesia untuk mendapatkan hak serupa," katanya.
Dengan memperhatikan indikator- indikator tersebut, maka sangat beralasan menilai bahwa Indonesia sedang memasuki darurat bahaya LGBT.
Pemerintah, DPR dan semua komponen masyarakat sudah semestinya memiliki kesadaran kolektif untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan ini.
"Lebih khusus lagi media massa, media penyiaran dan media sosial harus mawas diri agar tidak menjadi agen penyebarluasan pelaku dan perilaku LGBT," demikian Mahfudz Siddik.(*)
"Munculnya kasus-kasus hukum berkaitan dengan pelaku dan perilaku LGBT makin menyentakkan kesadaran masyarakat luas akan ancaman dan bahaya LGBT," katanya kepada pers di Jakarta, Sabtu.
Misalnya, menurut dia, kasus paling aktual artis SJ dan presenter IB yang diduga melakukan pelecehan seksual sesama jenis.
"Jika kita mencermati indikator-indikator yang melingkupi fenomena ini, maka saya berpendapat bahwa Indonesia mulai memasuki tahap darurat bahaya LGBT," katanya.
Mengenai apa indikator darurat dari fenomena tersebut, dia menyebutkan, ada beberapa hal. Pertama, LGBT justru menyeruak pelaku, perilaku dan penyebarannya di kalangan figur publik, khususnya artis.
Ia menilai, tidak dapat dipungkiri bahwa figur publik seringkali menjadi model peran (role model) bagi peniruan perilaku di kalangan penggemarnya.
Kedua, dikatakannya, pelaku dan perilaku LGBT di kalangan figur publik secara langsung atau tidak langsung disebarluaskan secara massif oleh lembaga penyiaran, khususnya televisi.
Sebagai bukti, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selama bulan Februari 2016 saja sudah mengeluarkan sekitar enam sanksi teguran terhadap program-program televisi yang mempromosikan pelaku dan perilaku LGBT.
"Bayangkan jika setiap hari ada beberapa televisi menampilkan pelaku dan perilaku LGBT dalam programnya, maka berapa juta warga masyarakat Indonesia yang terterpa pesan langsung dan tidak langsung tentang LGBT?," katanya
Ketiga, ia mengemukakan, pelaku LGBT juga membangun kesadaran kelompok dan melakukan upaya bersama untuk memperjuangkan pembenaran, eksistensi sampai pengakuan hak-hak hukum atas diaorientasi perilaku seksualnya.
Selain, menurut dia, tentu saja mereka secara sadar juga melakukan berbagai upaya untuk menambah jumlah pelaku dan menyebarluaskan perilaku LGBT.
"Penularan yang terlihat cepat di kalangan figur publik khususnya artis, bisa jadi contoh paling gamblang," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Keempat, ia menyatakan, bersamaan dengan indikator ketiga juga muncul pembelaan dan advokasi dari berbagai kalangan baik perorangan maupun kelembagaan.
"Ada akademisi yang nyaring bersuara membela LGBT. Ada LSM yang giat melakukan advokasi," katanya.
Ada perusahaan-perusahaan multinasional yang ikut mempromosikan LGBT. Bahkan, ia menilai, mungkin juga ada lembaga-lembaga donor dari luar negeri yang ikut membiayai kampanye pengakuan hak bagi pelaku dan perilaku LGBT.
Kelima, menurut dia, kampanye viral melalui media sosial saat ini dimanfaatkan secara maksimal oleh pelaku dan pendukung LGBT untuk menyebarluaskan paham, menggalang dukungan dan juga menjaring pengikut baru di tengah tidak ada regulasi yang secara efektif mampu mengawasinya.
"Apalagi, ada indikasi penyedia program media sosial yang umumnya dari luar negeri juga sepertinya permisif terhadap LGBT," katanya.
Keenam, ia menyatakan, sistem hukum Indonesia, termasuk peraturan perundang-undangannya, belum secara tegas dan jelas mengatur tentang pelaku dan perilaku LGBT ini. Rusia, Singapura dan Filipina, misalnya, sudah punya perundang-undangan yang jelas dan tegas tentang pelarangan LGBT.
Mahfudz mencatat, hal ketujuh adalah kalangan kedokteran, psikolog dan psikiater sudah secara jelas menyatakan bahwa LGBT adalah bentuk penyimpangan orientasi dan perilaku seksual yang berifat menular.
Bahkan, ia menambahkan, penularan LGBT bisa menyergap siapa saja, tidak peduli usia dan latarbelakang mereka, sehingga kalangan agamawan dari semua agama pun sudah jelas mengharamkannya.
Hal kedelapan, dikatakannya, sampai hari ini pemerintah belum ada kebijakan dan sikap yang jelas dan tegas tentang LGBT dalam konteks bahaya dan ancaman terhadap masa depan bangsa, dan hal kesembilan memperlihatkan kampanyenya di Indonesia mengacu kesuksesan kaum LGBT di beberapa negara Eropa yang mendapatkan hak pengakuan hukum.
"Ini akan menjadi agenda perjuangan sistemik kaum LGBT di Indonesia untuk mendapatkan hak serupa," katanya.
Dengan memperhatikan indikator- indikator tersebut, maka sangat beralasan menilai bahwa Indonesia sedang memasuki darurat bahaya LGBT.
Pemerintah, DPR dan semua komponen masyarakat sudah semestinya memiliki kesadaran kolektif untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan ini.
"Lebih khusus lagi media massa, media penyiaran dan media sosial harus mawas diri agar tidak menjadi agen penyebarluasan pelaku dan perilaku LGBT," demikian Mahfudz Siddik.(*)